.:WELCOME TO MY BLOG:.

Pendidikan

PROBLEMA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA 

Sejak lama, seluruh bangsa Indonesia selalu diingatkan agar selalu hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat yang beraneka suku bangsa, agama, ras, dan antar golongan. Kita diseru untuk mengerti, menghayati, dan melaksanakan kehidupan bersama demi terciptanya persatuan dan kesatuan dalam perbedaan sebagaimana semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Artinya kita selalu diingatkan untuk menghargai dan menghayati perbedaan SARA sebagai unsur utama yang mempersatukan bangsa ini dan bukan dijadikan alasan terjadinya konflik. Dalam studi sosial, ajakan agar selalu hidup berdampingan
secara damai (koeksistensi damai) ini merupakan bentuk sosialisasi nilai yang terkandung dalam multikulturalisme.
Kesadaran akan pentingnya kemajemukan mulai muncul seiring gagalnya upaya nasionalisme negara, yang dikritik karena dianggap terlalu menekankan kesatuan daripada keragaman. Kemajemukan dalam banyak hal – suku, agama, ras, golongan yang seharusnya menjadi hasanah dan modal untuk membangun seringkali dimanipulasi oleh penguasa untuk mencapai kepentingan politiknya. Maka ketika kemudian konflik bergejolak di daerah, negara seakan-akan menutupi realitas kemajemukan itu atas nama “kesatuan bangsa”  atau “stabilitas nasional”. Konflik sosial yang sering muncul sebagai akibat pengingkaran terhadap kenyataan kemajemukan dan penyebab adanya konflik sosial.
Bertolak dari kenyataan itu, kini dirasakan semakin perlunya kebijakan multikultural yang memihak keragaman. Dari kebijakan itu nantinya diharapkan masyarakat dapat mengelola perbedaan yang ada secara positif. Dengan demikian, perbedaan dalam beragam area kehidupan tidak memicu prasangka atau konflik, tetapi sebaliknya mendorong dinamika masyarakat ke arah lebih baik.
 

I. Problem Penyakit Budaya
Konflik bukan untuk dimusuhi, tapi dikelola secara arif dan bijaksana. Masing-masing individu yang terlibat dalam konflik perlu menjernihkan pikiran dan hati dari prasangka, stereotipe, etnosentrisme, rasisme dan diskriminasi dan scape goating terhadap pihak lain. Karena pemahaman terhadap adanya penyakit budaya tersebut merupakan kunci utama dalam proses resolusi dan manajemen konflik. Negara ini membutuhkan solusi yang memuaskan dalam menghadapi ancaman konflik dan separatisme di daerah-daerah yang lebih sering disebabkan oleh tumbuh berkembangnya berbagai penyakit budaya seperti prasangka, stereotipe, etnosentrisme, rasisme dan diskriminasi ini.

A. Prasangka
Definisi klasik prasangka pertama kali dikemukakan oleh psikolog dari Universitas Harvard, Gordon Allport yang menulis konsep itu dalam bukunya, The Nature of  Prejudice pada tahun 1954. Istilah ini berasal dari praejudicium, yakni pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal terhadap orang atau kelompok tertentu.
Menurut Allport, “Prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau tidak luwes. Antipati itu dapat dirasakan atau dinyatakan. Antipati itu bisa langsung ditujukan kepada kelompok atau individu dari kelompok tertentu. ”Allport memang sangat menekankan antipati bukan sekedar antipati pribadi tetapi antipati kelompok.
Johnson (1986) mengatakan prasangka adalah sikap positif atau negatif berdasarkan keyakinan stereotipe kita tentang anggota dari kelompok tertentu. Prasangka meliputi keyakinan untuk menggambarkan jenis pembedaan terhadap orang lain sesuai dengan peringkat nilai yang kita berikan. Prasangka yang berbasis ras kita sebut rasisme, sedangkan yang berbasis etnis disebut etnisisme.
Menurut John (1981) prasangka adalah sikap antipati yang berlandaskan pada cara menggeneralisasi yang salah dan tidak  fleksibel. Kesalahan ini mungkin saja diungkapkan secara langsung kepada orang yang menjadi anggota kelompok tertentu. Prasangka merupakan sikap negatif yang diarahkan kepada seseorang atas dasar perbandingan dengan kelompoknya sendiri.
Jadi prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan bagi kegiatan komunikasi karena orang yang berprasangka sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang melancarkan komunikasi. Dalam prasangka, emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar prasangka buruk tanpa memakai pikiran dan pandangan kita terhadap fakta yang nyata. Karena itu, bila  prasangka sudah menghinggapi seseorang, orang tidak dapat berpikir logis dan obyektif dan segala apa yang dilihatnya akan dinilai secara negatif.
Kata Allport, prasangka negatif terhadap etnik merupakan sikap antipati yang dilandasi oleh kekeliruan atau generalisasi yang tidak fleksibel, hanya karena perasaan tertentu dan pengalaman yang salah. Karena itu, sejak dulu sampai sekarang, pengertian prasangka telah mengalami transformasi. Pada, mulanya prasangka merupakan pernyataan yang hanya didasarkan pada pengalaman dan keputusan yang tidak teruji terlebih dahulu. Pernyataan itu bergerak pada skala kontinum seperti suka/tidak suka atau mendukung/tidak mendukung terhadap sifat- sifat tertentu (Liliweri,   201). Sekarang pengertian prasangka lebih diarahkan pada pandangan emosional dan negatif terhadap seseorang atau sekelompok orang dibandingkan dengan kelompok sendiri. Definisi Allport ini disanggah oleh psikolog Theodore Adorno. Adorno yang menciptakan teori pribadi otoriter (authoritarian personality) mengemukakan melalui riset atas pola rasisme yang dilakukan di wilayah selatan AS. Ia menemukan bahwa pola-pola rasisme muncul dari kepribadian otoriter. Jadi pada dasarnya prasangka merupakan salah satu tipe kepribadian. Dengan demikian, kita tidak perlu mempermasalahkan tindakan rasisme karena tindakan  itu  muncul dari pribadi berprasangka (prejudiced persons) yang diwarisi dari proses sosialisasi.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa prasangka mengandung sikap, pengertian, keyakinan dan bukan tindakan. Jadi prasangka tetap ada dipikiran, sedangkan diskriminasi mengarah ketindakan sistematis. Kalau prasangka berubah menjadi tindakan nyata, maka prasangka sudah berubah menjadi diskriminasi yaitu tindakan menyingkirkan status dan peranan seseorang dari hubungan, pergaulan, dan komunikasi antar manusia.
Secara umum kita dapat melihat prasangka mengandung tipe afektif  (berkaitan dengan perasaan negatif), kognitif (selalu berpikir tentang suatu stereotipe) dan konasi (kecenderungan perilaku diskriminatif). Prasangka didasarkan atas sebab-sebab seperti :
- generalisasi yang keliru pada perasaan,
- stereotipe antaretnik,
- kesadaran “in group” dan “out group” yaitu kesadaran akan ras “mereka” sebagai kelompok lain yang berbeda latar belakang kebudayaan dengan “kami”.

B. Stareotipe
Stereotipe merupakan salah satu bentuk prasangka antar  etnik/ras. Orang cenderung membuat kategori atas tampilan karakteristik perilaku orang lain berdasarkan kategori ras, jenis kelamin, kebangsaan, dan tampilan komunikasi verbal maupun non verbal. Stereotipe merupakan salah satu bentuk utama prasangka yang menunjukkan perbedaan “kami” (in group) yang selalu dikaitkan dengan superioritas kelompok in group dan yang cenderung mengevaluasi orang lain yang dipandang inferior yaitu ”mereka” (out group).
Stereotipe adalah pemberian sifat tertentu terhadap seseorang berdasarkan kategori yang bersifat subyektif, hanya karena dia berasal dari kelompok yang lain. Pemberian sifat itu bisa bersifat positif maupun negatif. Verdeber (1986) menyatakan bahwa stereotipe adalah sikap dan juga karakter yang dimiliki seseorang dalam menilai karakteristik, sifat negatif maupun positif orang lain, hanya berdasarkan keanggotaan orang itu pada kelompok tertentu. Sebagaimana halnya dengan sikap, stereotipe memiliki valensi dari positif hingga negatif atas sesuatu yang disukai/tidak (favorability). Allan G. Johnson (1986) menegaskan bahwa stereotipe adalah keyakinan seseorang untuk menggeneralisasikan sifat-sifat tertentu yang cenderung negatif tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman tertentu. Keyakinan ini menimbulkan penilaian yang cenderung negatif atau bahkan merendahkan kelompok lain. Ada kecenderungan untuk memberi “label” atau cap tertentu pada kelompok tertentu dan yang termasuk problem yang perlu diatasi adalah stereotipe yang negatif atau memandang rendah kelompok lain. Misalnya, seseorang dari suku tertentu diberi “label”, pandai bicara untuk orang dari daerah Batak. Seseorang menyimpulkan ini karena dari pengalaman dia mengetahui bahwa mereka memang banyak bicara. Ditambah dengan pengetahuan yang dia dapatkan dari televisi yang memperlihatkan bahwa sebagian besar mengacara yang terkenal di Indonesia dan sering muncul dari pemberitaan di televisi itu ternyata berasal dari orang Batak. Kita menggeneralisasikan secara salah dari informasi terbatas yang ada pada kita. Untuk mengatasi masalah ini adalah kita perlu memberi informasi yang benar dan lebih komprehensif tentang sesuatu hal sehingga stereotipe semacam ini tidak tumbuh. Di dalam menghadapi fenomena budaya yang ada di tanah air ini, kita perlu memberi informasi yang benar tentang berbagai hal yang berkaitan dengan suku,  ras, agama dan antargolongan. Seringkali, keberadaan individu dalam suatu kelompok telah dikategorisasi dan digeneralisasi. Miles Hewstone dan Rupert Brown (1986) mengemukakan tiga aspek esensial dari stereotipe:
1.      karakter      atau   sifat   tertentu    yang    berkaitan     dengan     perilaku,    kebiasaan
       berperilaku, gender dan etnis. Misalnya wanita Priangan itu suka bersolek.
2.      bentuk   atau   sifat   perilaku   turun   temurun   sehingga   seolah-olah   melekat   pada
       semua anggota kelompok. Misalnya orang Ambon itu keras.
3.      penggeneralisasian karakteristik, ciri khas, kebiasaan, perilaku kelompok pada individu yang menjadi anggota kelompok tersebut.
Pemberian stereotipe merupakan gejala yang nampak alami dalam proses hubungan antarras atau etnik sehingga tidak  mungkin kita tidak melakukan stereotipe. Tajfel (1981) membedakan bentuk atau jenis stereotipe itu dalam stereotipe individu dan stereotipe sosial. Stereotipe individu adalah generalisasi yang dilakukan individu dengan menggeneralisasi karakteristik orang lain dengan ukuran yang luas dan  jarak tertentu melalui proses kategori yang bersifat kognitif (berdasarkan pengalaman individu). Sedangkan stereotipe sosial terjadi jika stereotipe itu telah menjadi evaluasi kelompok tertentu, telah menyebar dan meluas pada kelompok sosial lain.
Stereotipe itu bersifat unik dan berdasarkan pengalaman individu, namun kadang merupakan hasil pengalaman dan pergaulan dengan orang lain maupun dengan anggota kelompok kita sendiri. Adakah hubungan antara stereotipe dengan komunikasi. Hewstone dan Giles (1986) mengajukan empat kesimpulan tentang proses stereotipe:
1.      Proses stereotipe merupakan hasil dari kecenderungan mengantisipasi atau mengharapkan kualitas derajat hubungan tertentu antara anggota kelompok tertentu berdasarkan sifat psikologis yang dimiliki. Semakin negatif generalisasi itu kita lakukan, semakin sulit kita berkomunikasi dengan sesama.
2.      Sumber dan sasaran informasi mempengaruhi proses informasi yang diterima atau yang hendak dikirimkan. Stereotipe berpengaruh terhadap proses informasi individu.
3.      Stereotipe menciptakan harapan pada anggota kelompok tertentu (in group) dan kelompok lain (out group).
4.      Stereotipe menghambat pola perilaku komunikasi kita dengan orang lain.

C. Etnosentrisme
Etnosentrisme merupakan paham paham yang pertama kali diperkenalkan oleh William Graham Sumner (1906), seorang antropolog yang beraliran interaksionisme. Sumner berpandangan bahwa manusia pada dasarnya individualistis yang cenderung mementingkan diri sendiri, namun karena harus berhubungan dengan manusia lain, maka terbentuklah sifat hubungan yang antagonistik (pertentangan). Supaya pertentangan itu dapat dicegah, perlu ada folkways (adat kebiasaan) yang bersumber pada pola-pola tertentu.
Mereka yang mempunyai folkway yang sama cenderung berkelompok dalam suatu kelompok yang disebut etnis. Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk menetapkan semua norma dan nilai budaya orang lain dengan standar budayanya sendiri.

D. Rasisme
Kata ras berasal dari bahasa Perancis dan Italia “razza”. Pertama kali istilah ras diperkenalkan Franqois Bernier, antropolog Perancis, untuk mengemukakan gagasan tentang pembedaan manusia berdasarkan kategori atau karakteristik warna kulit dan bentuk wajah. Setelah itu, orang lalu menetapkan hierarkhi manusia berdasarkan karakteristik fisik atas orang Eropa berkulit putih yang diasumsikan sebagai warga masyarakat kelas atas berlawanan dengan orang Afrika yang berkulit hitam sebagai warga kelas dua. Atau ada ideologi rasial yang berpandangan bahwa orang kulit putih mempunyai misi suci untuk menyelamatkan orang kulit hitam yang dianggap sangat primitif. Hal tersebut berpengaruh terhadap stratifikasi dalam berbagai bidang seperti bidang sosial, ekonomi, politik, dimana orang kulit hitam merupakan subordinasi orang kulit putih.
Ras sebagai konsep secara ilmiah digunakan bagi “penggolongan manusia” oleh Buffon, anthropolog Perancis, untuk menerangkan penduduk berdasarkan pembedaan biologis sebagai parameter. Pada abad 19, para ahli biologi membuat klasifikasi ras atas tiga kelompok, yaitu Kaukasoid, Negroid dan Mongoloid. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada ras yang benar-benar murni lagi. Secara biologis, konsep ras selalu dikaitkan dengan pemberian karaktersitik seseorang atau sekelompok orang ke dalam suatu kelompok tertentu yang secara genetik memiliki kesamaan fisik seperti warna kulit, mata, rambut, hidung, atau potongan wajah.  Pembedaan seperti itu hanya mewakili faktor tampilan luar. Karena tidak ada ras yang benar-benar murni, maka konsep tentang ras seringkali merupakan kategori yang bersifat non-biologis. Ras hanya merupakan konstruksi ideologi yang menggambarkan gagasan rasis.
Secara kultural, Carus menghubungkan ciri ras dengan  kondisi kultural. Ada empat jenis ras: Eropah, Afrika, Mongol dan Amerika yang berturut-turut mencerminkan siang hari (terang), malam hari (gelap), cerah pagi (kuning) dan sore (senja) yang merah.
Namun konsep ras yang kita kenal lebih mengarah pada konsep kultural dan merupakan kategori sosial, bukan biologis. Montagu, membedakan antara “ide sosial dari ras” dan “ide biologis dari ras”. Definisi sosial berkaitan dengan fisik dan perilaku sosial.

E. Diskriminasi
Jika prasangka mencakup sikap dan keyakinan, maka diskriminasi mengarah pada tindakan. Tindakan diskriminasi biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki prasangka kuat akibat tekanan tertentu, misalnya tekanan budaya, adat  istiadat, kebiasaan, atau hukum. Antara prasangka dan diskriminasi ada hubungan yang saling menguatkan, selama ada prasangka, disana ada diskriminasi. Jika prasangka dipandang sebagai keyakinan atau ideologi, maka diskriminasi adalah terapan keyakinan atau ideologi. Jadi diskriminasi merupakan tindakan yang membeda-bedakan dan kurang bersahabat dari kelompok dominan terhadap kelompok subordinasinya.

F. Kambing Hitam (Scape Goating)
Teori kambing hitam (scape goating) mengemukakan kalau individu tidak bisa menerima perlakuan tertentu yang tidak adil, maka perlakuan itu dapat ditanggungkan kepada orang lain. Ketika terjadi depresi ekonomi di Jerman, Hitler mengkambing hitamkan orang Yahudi sebagai penyebab rusaknya sistem politik dan ekonomi di negara itu. Ada satu pabrik di Auschwitz, Polandia yang digunakan untuk membantai hampir 1,5 juta orang Yahudi. Tua muda, besar kecil laki-laki dan perempuan dikumpulkan. Kepala digunduli dan rambut yang dikumpulkan mencapai hampir 1,5 ton. Rambut yang terkumpul itu akan dikirimkan ke Jerman untuk dibuat kain. Richard Chamberlain berteori bahwa bangsa Aria adalah bangsa yang besar dan mulia yang mempunyai misi suci untuk membudayakan umat manusia. Bangsa Aria (Jerman) ini merasa bahwa kekacauan ekonomi dan politik di Jerman ini disebabkan oleh bangsa Yahudi.


II. Problema Pembelajaran Pendidikan Multikultural
Dalam kerangka strategi pembelajaran, Pembelajaran Berbasis Budaya dapat mendorong terjadinya proses imajinatif, metaforik, berpikir kreatif dan sadar budaya (Dikti,  2004 : 5). Namun demikian, penggunaan budaya lokal (etnis) dalam Pembelajaran Berbasis Budaya tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang terdapat dalam setiap komponen pembelajaran, sejak persiapan awal dan implementasinya.
Beberapa permasalahan awal Pembelajaran Berbasis Budaya pada tahap persiapan awal, antara lain:
1.      guru kurang mengenal budayanya sendiri, budaya lokal maupun budaya peserta didik;
2.      guru kurang menguasai garis besar struktur dan budaya etnis peserta didiknya, terutama dalam konteks mata pelajaran yang akan diajarkannya;
3.      rendahnya kemampuan guru dalam mempersiapkan peralatan yang dapat merangsang minat, ingatan, dan pengenalan kembali peserta didik terhadap khasanah budaya masing-masing dalam konteks budaya masing-masing dalam konteks pengalaman belajar yang diperoleh (Dikti, 2004: 5).
Pada kenyataannya berbagai dimensi dari keberagamaan budaya Indonesia dapat menimbulkan masalah dalam proses pembelajaran, terutama dalam kelas yang budaya etnis peserta didiknya sangat beragam (Banks, 1997), antara lain:

1.      Masalah “seleksi dan integrasi isi” (content selection and integration) mata pelajaran: sejauh mana guru mampu memilih aspek dan unsur budaya yang relevan dengan isi dan topik mata pelajaran. Sejauh mana guru dapat mengintegrasikan budaya lokal dalam mata pelajaran yang diajarkan, sehingga pembelajaran lebih bermakna bagi peserta didik. Petunjuk mengatasi masalah seleksi dan integrasi isi. Empat belas petunjuk berikut didesain untuk membantu Anda dengan lebih baik dalam mengintegrasikan isi tentang kelompok etnis ke dalam pembelajaran dalam Pendidikan Multikultural:
a.       Guru adalah variabel yang amat penting dalam mengajarkan materi etnis. Jika Anda memiliki pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang diperlukan, saat Anda menghadapi materi rasial di dalam bahan pelajaran atau mengobservasi rasisme dalam pernyataan dan perilaku siswa, Anda dapat menggunakan situasi ini untuk mengajarkan pelajaran penting tentang pengalaman kelompok etnis tertentu.
b.      Pengetahuan tentang kelompok etnis diperlukan untuk mengajarkan materi etnis secara efektif. Baca paling sedikit satu buku utama yang mensurvei sejarah dan budaya kelompok etnis.
c.       Sensitiflah dengan sikap, perilaku rasial Anda sendiri dan pernyataan yang Anda buat sekitar kelompok etnis di kelas. Pernyataan seperti “Duduk bersimpuh seperti orang Jawa” adalah stereotipe orang Jawa.
d.      Yakinkan bahwa kelas Anda membawa citra positif tentang berbagai kelompok etnis. Anda dapat melakukan ini dengan menayangkan majalah dinding, poster, dan kalender yang memperlihatkan perbedaan rasial dan etnis dalam masyarakat.
e.       Sensitiflah terhadap sikap rasial dan etnis dari siswa Anda dan jangan menerima keyakinan bahwa “anak-anak tidak melihat ras, kelompok kaya/miskin, warna kulit”. Karena hal ini disangkal oleh riset. Semenjak riset pertama oleh Lasker pada tahun 1929, peneliti telah mengetahui bahwa anak yang muda sekali sadar akan perbedaan rasial dan bahwa mereka cenderung menerima penilaian atas berbagai kelompok ras yang normatif dalam masyarakat luas. Jangan mencoba mengabaikan perbedaan ras dan etnis yang Anda lihat; cobalah merespon perbedaan ini secara positif dan sensitif.
f.       Bijaksanalah dalam pilihan Anda dalam menggunakan materi pelajaran. Sebagian materi mengandung stereotipe yang halus maupun mencolok atas kelompok etnis. Menjelaskan pada siswa kalau suatu kelompok etnis seringkali distereotipkan, atau menggambarkan materi dari sudut pandang tertentu.
g.      Gunakan buku, film, video, dan rekaman yang dijual di pasaran untuk pelengkap buku teks dari kelompok etnis dan menyajikan perspektif kelompok etnis pada siswa Anda. Beberapa sumber ini mengandung gambaran yang kaya dan kuat atas pengalaman dari orang kulit berwarna. Siaran di televisi saat ini sudah banyak yang mengisahkan berbagai peristiwa budaya di tanah air.
h.      Berikan sentuhan warisan budaya dan etnis Anda sendiri. Dengan berbagi kisah etnis dan budaya dengan siswa, Anda akan menciptakan iklim berbagi di kelas. Hal ini akan membantu memotivasi siswa mendalami akar budaya dan etnis dan akan menghasilkan pembelajaran yang kuat bagi siswa Anda.
i.        Sensitiflah dengan kemungkinan sifat kontroversial dari sebagian materi studi etnis. Jika Anda telah jelas dan paham tentang tujuan pengajaran, Anda dapat menggunakan buku yang kurang kontroversial untuk mencapai tujuan yang sama.
j.        Sensitiflah dengan tahap perkembangan dari siswa Anda  jika Anda memilih konsep, materi, dan aktivitas yang berkaitan dengan kelompok etnis. Konsep dan aktivitas belajar bagi anak TK dan SD seharusnya spesifik dan kongkrit. Siswa di sekolah dasar seharusnya diajari konsep seperti persamaan, perbedaan, prasangka, dan diskriminasi daripada konsep yang lebih tinggi seperti rasisme dan penjajahan. Visi dan biografi merupakan wahana yang bagus untuk memperkenalkan konsep ini pada siswa di Taman Kanak-kanak dan sekolah dasar. Kita bisa kenalkan bagaimana seorang yang memiliki kekurangan dalam segi pendengaran dan terkucilkan dari lingkungan seperti Thomas Alfa Edison mampu menghasilkan karya yang spektakuler. Siswa berkembang berangsur-angsur, mereka dapat dikenalkan konsep, contoh, dan aktivitas yang lebih kompleks.
k.      Memandang siswa kelompok minoritas Anda sebagai pemenang. Siswa dari kelompok minoritas ingin mencapai tujuan karier dan akademis yang tinggi. Mereka membutuhkan guru yang meyakini bahwa mereka dapat berhasil dan berkemauan untuk membantu keberhasilan mereka. Baik riset maupun teori menunjukkan bahwa siswa lebih mungkin mencapai prestasi akademis tinggi jika guru mereka memiliki harapan akademis yang tinggi untuk siswa-siswanya.
l.        Ingatlah bahwa orang tua dari siswa kelompok minoritas amat berminat dalam pendidikan dan ingin anak-anak mereka berhasil secara akademis sekalipun orang tua mereka terpinggirkan dari sekolah. Jangan menyamakan pendidikan dengan persekolahan. Cobalah memperoleh dukungan dari orang tua dan menjadikan mereka partner dalam pendidikan bagi anak-anak mereka.
m.    Gunakan teknik belajar yang kooperatif dan kerja kelompok untuk meningkatkan integrasi ras dan etnis di sekolah dan di kelas. Riset menunjukkan bahwa jika kelompok belajar itu berkumpul dari berbagai ras, siswa dapat mengembangkan lebih banyak teman dari kelompok rasial yang lain dan dapat memperbaiki hubungan rasial di sekolah.
n.      Yakinkan bahwa permainan sekolah, pemandu sorak, publikasi sekolah, kelompok informal dan formal yang lain berintegrasi secara rasial. Juga yakinkan bahwa berbagai kelompok etnis dan rasial memiliki status yang sama di penampilan dan presentasi sekolah. Dalam sekolah multirasial, jika semua pemegang peran pembimbing di sekolah diisi oleh karakter Kulit putih, pesan penting dikirimkan pada siswa dan orang dari siswa kulit berwarna betapa pun pesan itu diintensifkan atau tidak.

2.      Masalah “proses mengkonstruksikan pengetahuan” (the knowledge construction process)
a.       aspek budaya manakah yang dapat dipilih sehingga dapat membantu peserta didik untuk memahami konsep kunci secara lebih tepat.
b.      bagaimana guru dapat menggunakan frame of reference dari budaya tertentu dan mengembangkannya dalam perspektif ilmiah
c.       bagaimana guru tidak bias dalam mengembangkan persepektif itu. Misalnya kincir air   diambil sebagai frame of reference dari khasanah budaya lokal (tradisional), tetapi dapat dipakai untuk menjelaskan PLTA.

3.      Masalah “mengurangi prasangka” (prejudice reduction)
a)      bagaimana agar peserta didik yang belum mengenal budaya yang dijadikan media pembelajaran menjadi tidak berprasangka bahwa guru cenderung mengutamakan unsur budaya kelompok tertentu. Dalam perlakuan ini muncul masalah kesetaraan status budaya peserta didik yang budayanya jarang dijadikan media pembelajaran.
b)      bagaimana agar guru dapat mengusahakan “kerjasama”(cooperation) dan pengertian bahwa strategi pemakaian budaya tertentu bukan merupakan “kompetisi,” tetapi sebuah kebersamaan. Contoh  jika guru memilih Bagong (tokoh wayang di  Jawa Tengah) untuk pembelajaran, maka guru harus menjelaskan siapa Bagong dan mampu mengidentifikasi tokoh serupa seperti Cepot (Jawa   Barat), Sangut (Bali), Dawala dan Bawok (pesisir utara Jawa). Dengan mengambil contoh yang sepadan, di samping guru dapat menghindari “prasangka” bahwa dia mengutamakan unsur budaya tertentu. Situasi tersebut mendorong kebersamaan antar peserta didik dan saling memperkaya unsur budaya masing-masing.

4.      Masalah “kesetaraan pedagogy” (equity paedagogy)
Masalah ini muncul apabila guru terlalu banyak memakai budaya etnis atau kelompok tertentu dan (secara tidak sadar) menafikan budaya kelompok lain. Untuk mempersiapkan atau memilih unsur budaya membutuhkan waktu, tenaga dan referensi dari berbagai sumber dan pustaka, mencari tahu dari tokoh sehingga guru dapat melaksanakan kesetaraan pedagogi. Guru harus memiliki “khasanah budaya”  mengenai berbagai unsur budaya dalam tema tertentu, termasuk Tionghoa dan yang lainnya. Misal:
a)      Sastra Hikayat Rakyat dengan tema durhaka. Contoh; Malin Kundang  (Minangkabau), Tangkuban Perahu (Sunda), Loro Jonggrang (Yogyakarta).
b)      Obat-obatan : jamu (Jawa), minyak kayu putih (Maluku).
c)      Tekstil/tenun : batik (Jawa), kain ikat (Nusa Tenggara), songket (Melayu Deli, Palembang, Kalimantan, Lombok, dan Bali).
d)     Perahu Layar: Phinisi (Bugis-Makasar), Cadik (Madura), Lancang Kuning (Melayu).
e)      Seni teater:  Ludruk (Jawa   Timur), Wayang Wong (Jawa   Tengah), Lenong (Betawi), Ketoprak (Yogyakarta).
f)       Tokoh Pahlawan: Dewi Sartika (Sunda), Cut Nyak Dien, Cut Meutia (Aceh), Kartini (Jawa Tengah).

1 komentar: